Bias Penyintas: Mengapa Kita Sering Lupa Kegagalan?
Guys, pernah nggak sih kalian terpikir kenapa kita kayak lebih gampang inget orang-orang yang sukses? Kayak, kita denger cerita si A sukses banget bisnisnya, si B jadi miliarder muda, atau si C berhasil banget di karirnya. Nah, tapi jarang banget kan kita denger cerita orang-orang yang udah berusaha keras tapi gagal total? Padahal, kemungkinan besar ada lebih banyak orang yang gagal daripada yang sukses, lho. Nah, fenomena ini nih yang disebut bias penyintas, atau survivorship bias dalam bahasa Inggrisnya. Ini adalah sebuah kesalahan logika yang bikin kita fokus sama orang atau hal yang berhasil lolos dari suatu proses seleksi, tapi lupa sama mereka yang nggak lolos. Akibatnya, pandangan kita tentang peluang sukses jadi agak melenceng,Guys. Kita jadi punya ekspektasi yang terlalu tinggi dan kurang realistis tentang apa yang dibutuhkan untuk berhasil.
Bayangin aja gini, kalian lagi nyari tips sukses dari para pengusaha kaya raya. Kalian baca buku mereka, nonton wawancara mereka, dan dengerin semua nasihat mereka. Keliatannya gampang banget kan? Mereka bilang, "Ya, pokoknya kerja keras aja, jangan pernah nyerah, dan selalu percaya diri." Nah, masalahnya, nasihat-nasihat ini datang dari orang-orang yang sudah berhasil. Kita nggak denger cerita dari ribuan pengusaha lain yang juga kerja keras, nggak nyerah, dan percaya diri, tapi bisnisnya bangkrut juga. Jadi, kita cuma liat puncak gunung esnya, tapi lupa sama bagian gunung es yang tenggelam di bawah laut. Akibatnya, kita mungkin mikir, "Wah, kalau gitu aku tinggal ikutin jejak mereka aja pasti sukses!" Padahal, kesuksesan mereka bisa jadi karena kombinasi berbagai faktor, termasuk keberuntungan, waktu yang tepat, dan mungkin juga modal awal yang lebih besar. Jadi, kalau kita cuma belajar dari yang sukses, kita nggak dengerin pelajaran penting dari kegagalan. Itu yang bikin bias penyintas ini berbahaya, Guys. Ini bukan cuma soal bisnis, tapi bisa kena di banyak hal lain, kayak investasi, karir, bahkan hubungan.
Sejarah Singkat Bias Penyintas: Dari Perang Sampai Bisnis
Biar makin ngerti, yuk kita mundur sedikit ke sejarahnya. Konsep bias penyintas ini sebenarnya udah ada sejak lama banget, lho. Salah satu contoh paling terkenal itu datang dari Perang Dunia II. Waktu itu, para ahli strategi militer pengen tahu gimana caranya biar pesawat tempur mereka nggak gampang kena tembak musuh. Mereka ngeliatin pesawat-pesesawat yang berhasil pulang dari misi tempur, terus mereka perhatiin bagian mana aja yang kena lubang peluru. Ada yang kena di sayap, di badan pesawat, di ekor, dan lain-lain. Nah, terus ada usulan nih, "Oke, kita perkuat aja bagian-bagian yang banyak kena lubang peluru ini!" Keliatannya logis kan? Tapi, ada satu orang jenius yang menyadari ada sesuatu yang salah. Dia bilang, "Tunggu dulu, kita ini lagi ngeliatin pesawat yang selamat pulang. Justru, bagian-bagian yang nggak ada lubangnya di pesawat yang pulang ini, kemungkinan besar adalah bagian-bagian vital yang kalau kena peluru, pesawatnya nggak akan bisa balik lagi!" Jadi, bukannya memperkuat bagian yang banyak kena, justru mereka harus memperkuat bagian yang paling sedikit kena lubang, karena itulah yang membedakan pesawat yang selamat dan yang jatuh. Keren, kan? Ini adalah contoh klasik gimana bias penyintas bisa bikin kita salah ambil kesimpulan kalau kita nggak hati-hati.
Dari dunia militer, konsep ini terus berkembang dan diterapkan di berbagai bidang lain. Di dunia bisnis, misalnya. Para investor sering banget menganalisis perusahaan-perusahaan yang sukses besar untuk mencari tahu rahasia keberhasilan mereka. Mereka ngeliatin model bisnisnya, strateginya, timnya, dan segala macam. Tapi, mereka sering lupa sama ribuan startup lain yang punya model bisnis mirip, strategi serupa, tapi akhirnya gagal di tengah jalan. Kalau kita cuma belajar dari Google, Facebook, atau Amazon, kita mungkin akan mikir bahwa membangun perusahaan teknologi raksasa itu caranya begini. Padahal, kita nggak melihat kegagalan-kegagalan yang terjadi di belakang layar. Ini bisa bikin kita terlalu optimis saat memulai bisnis sendiri, karena kita merasa sudah punya "resep rahasia" padahal resepnya belum tentu cocok buat kita. Bias penyintas ini juga muncul saat kita ngomongin investasi. Kita sering denger cerita sukses orang yang investasinya berlipat ganda, tapi jarang denger cerita orang yang investasinya amblas. Akibatnya, kita jadi pengen buru-buru investasi tanpa riset yang mendalam, karena ngerasa "pasti bisa untung" kayak si A atau si B. Padahal, risiko kerugian itu nyata dan nggak bisa diabaikan.
Bagaimana Bias Penyintas Mempengaruhi Keputusan Kita Sehari-hari
Guys, bias penyintas itu nggak cuma ngomongin soal pesawat perang atau perusahaan raksasa, lho. Ini tuh bener-bener bisa nyelip ke kehidupan kita sehari-hari tanpa kita sadari. Coba deh pikirin, kalau kalian lagi galau milih jurusan kuliah atau karir. Kalian mungkin bakal banyak cari info dari orang-orang yang udah sukses di bidang itu. Dengerin cerita mereka gimana senangnya mereka kerja, gimana mereka bisa ngasilin banyak uang, dan gimana mereka merasa passion-nya tersalurkan. Keliatannya, jurusan itu atau karir itu kayak surga dunia, kan? Tapi, kalian lupa nanya sama mereka yang udah masuk tapi ngerasa salah jurusan, atau yang udah kerja tapi nggak bahagia. Mungkin ada banyak banget orang yang masuk jurusan kedokteran karena lihat dokter sukses, tapi akhirnya malah nggak kuat mental ngadepin pasien, atau nggak sanggup sama jam kerja yang panjang. Bias penyintas ini bikin kita melihat gambaran yang terlalu indah, yang ujung-ujungnya bisa bikin kita kecewa kalau kenyataan nggak sesuai harapan.
Contoh lain nih, soal kesehatan. Kita sering denger cerita orang yang sembuh dari penyakit parah karena minum ramuan X, atau terapi Y. Wah, keren banget kan? Langsung deh, banyak orang yang nyoba. Tapi, kita lupa kalau ada jutaan orang lain yang udah nyoba ramuan atau terapi yang sama tapi nggak ada hasilnya, bahkan mungkin memperparah kondisi. Mereka yang nggak sembuh atau nggak merasakan manfaat, kan nggak bakal bikin review heboh di internet, atau nggak akan jadi cerita inspiratif. Mereka yang beruntung sembuh aja yang bakal banyak omong. Jadi, kita akhirnya terpapar informasi yang bias, yang bikin kita yakin bahwa ramuan atau terapi itu pasti manjur buat semua orang. Padahal, efektivitasnya belum tentu terbukti secara ilmiah dan bisa aja berbahaya. Bias penyintas ini bener-bener ngajarin kita untuk skeptis dan selalu bertanya, "Gimana dengan mereka yang nggak berhasil?" Ini penting banget biar kita nggak gampang ditipu atau salah ambil keputusan.
Cara Mengatasi Bias Penyintas agar Keputusan Lebih Akurat
Nah, terus gimana dong biar kita nggak kejebak sama bias penyintas ini, Guys? Tenang, ada beberapa cara nih yang bisa kita lakuin biar keputusan kita lebih bijak dan nggak cuma ngeliat dari satu sisi aja. Pertama, jadilah seorang detektif yang skeptis. Setiap kali kalian denger cerita sukses yang luar biasa, jangan langsung percaya 100%. Coba deh gali lebih dalam. Tanyakan pada diri sendiri, "Apa aja yang nggak diceritain di sini?" "Bagaimana dengan mereka yang mencoba hal yang sama tapi gagal?" Coba cari informasi dari berbagai sumber, jangan cuma dari yang kedengerannya bagus aja. Kalau bisa, cari juga data atau statistik yang menunjukkan keseluruhan gambaran, bukan cuma kasus-kasus luar biasa.
Kedua, terima kenyataan bahwa kegagalan adalah bagian dari proses. Seringkali, kita nggak suka ngomongin kegagalan karena dianggap memalukan. Padahal, justru dari kegagalan kita bisa belajar banyak hal. Para survivors itu nggak cuma sukses karena mereka pinter atau beruntung aja, tapi juga karena mereka berhasil melewati banyak rintangan dan belajar dari kesalahan mereka. Jadi, kalau kalian lagi mencoba sesuatu yang baru, jangan takut kalau nanti gagal. Anggap aja itu sebagai pengalaman berharga yang bikin kalian makin kuat. Kalau kita terbuka sama kemungkinan gagal, kita jadi lebih siap mental dan bisa merencanakan strategi cadangan. Bias penyintas sering muncul karena kita punya pandangan idealis tentang kesuksesan yang seolah mulus tanpa hambatan.
Ketiga, diversifikasi sumber informasi dan pengalaman. Jangan cuma dengerin dari satu atau dua orang yang sukses aja. Coba deh cari pandangan dari orang-orang yang punya pengalaman berbeda, termasuk yang nggak berhasil. Kalau mau investasi, jangan cuma baca rekomendasi dari analis yang lagi bullish. Coba cari juga pandangan dari analis yang lebih bearish atau yang punya strategi berbeda. Kalau mau mulai bisnis, coba ngobrol sama pengusaha yang masih merintis, yang mungkin lagi ngadepin masalah yang sama kayak kalian. Semakin banyak sudut pandang yang kalian dapatkan, semakin lengkap gambaran yang kalian miliki. Dengan begitu, bias penyintas nggak akan mudah mengelabui kalian dan keputusan yang kalian ambil akan jauh lebih matang dan realistis. Jadi, intinya, selalu lihat gambaran besarnya, jangan cuma terpesona sama kilauan kesuksesan sesaat!